Saturday, August 24, 2013

Perbedaan Nikah Sirih dan Kawin Kontrak



Perkawinan merupakan salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan yang berguna untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan. Di Indonesia, dasar hukum perkawinan adalah menggunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

Menurut UU Nomor 1 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan atau pernikahan merupakan bentuk perjanjian formal dan sakral di antara kedua pasangan.

Selain perkawinan yang berdasarkan dengan aturan hukum positif di atas, suka tidak suka, dalam realita sosial yang ada, dikenal adanya kawin siri dan kawin kontrak. Siri berasal dari Bahasa Arab "as-sirru" yang berarti rahasia, diam-diam.
Kawin siri merupakan pernikahan yang hanya memenuhi prosedur keagamaan, tanpa melaporkannya ke KUA atau ke Kantor Catatan Sipil. Biasanya nikah siri dilaksanakan karena kedua belah pihak belum siap meresmikannya atau meramaikannya, namun di pihak lain untuk manjaga agar tidak tidak terjadi kecelakaan atau terjerumus kepada hal-hal yang dilarang agama.

Pada dasarnya, perkawinan siri jika sudah memenuhi unsur syarat dan rukun nikah, maka hukumnya sah dalam Islam. Syarat-syarat pernikahan dalam Islam itu adalah meliputi calon pengantin, wali dari wanita yang akan dinikahkan, mas kawin dan dua orang saksi. Tetapi yang menjadi soal adalah, perkawinan di Indonesia tidak berdasarkan hukum Islam. Melainkan hukum positif, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Terjadinya perkawinan siri dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama adalah faktor ekonomi, biaya yang lebih murah jika dibandingkan dengan perkawinan yang mengundang pihak KUA. Perkawinan siri tidak perlu menyebarkan undangan terlalu banyak. Sehingga otomatis akan menghemat biaya perkawinan.

Perkawinan siri dalam sepekan ini seringkali diperbincangkan. Hal ini karena mencuatnya kasus perkawinan Bupati Garut Aceng HM Fikri dengan seorang gadis belia berumur 18 tahun, Fany Octora. Yang mana, setelah 4 hari diceraikannya. Fakta di lapangan, tidak sedikit orang yang melakukan perkawinan siri dengan alasan ingin poligami, beristri lebih dari satu. Bahkan, istri pertama pun kerap kali tidak mengetahui.

Faktor sosial dan budaya di suatu daerah juga menjadi faktor terjadinya perkawinan siri. Pengurusan perkawinan terkesan ribet dan sulit di lingkungan birokrasi. Bukan tanpa alasan pernikahan siri banyak ditempuh pasangan wanita dan pria yang ingin menyatukan cinta dalam mahligai pernikahan. Selain karena simpel pengurusannya dimana tidak direpotkan faktor birokrasi yang berbelit, keabsahan hubungan secara agama pun dalam genggaman. Tak salah jika pernikahan ini pun akhirnya digemari banyak orang, bukan hanya kalangan biasa, tapi juga jajaran pejabat atau PNS menempuh jalan ini.

Berbeda dengan perkawinan kontrak. Perkawinan kontrak pada umumnya memiliki batas waktu tertentu, misalnya 3 bulan atau 6 bulan atau 1 tahun. Sedangkan kawin siri tidak demikian halnya. Selanjutnya, orang yang melakukan perkawinan kontrak biasanya dilakukan oleh seseorang yang berkantong tebal. Karena perkawinan kontrak lebih menitikberatkan pada batas waktu tertentu dan jumlah besaran nominal uang. Ketika batas waktu itu sudah selesai dengan sendirinya mereka berpisah tanpa harus menggunakan kata talak (perceraian), dan tentu juga tidak akan ada pembagian harta warisan.

Dari segi ekonomi, biaya kawin kontrak jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan kawin siri. Terlebih jika kawin kontrak tersebut, wanita yang akan dikawini memiliki postur dan bentuk fisik yang cantik. Dipastikan harga kontrak akan jauh lebih mahal dan bahkan mencapai puluhan juta dan ratusan juta rupiah.

Dalam perspektif agama, kawin siri berbeda jauh dengan kawin kontrak. Kawin siri dinilai sah oleh agama, tetapi kawin kontrak jelas-jelas dilarang oleh agama. Kawin kontrak lebih terkesan hanya melampiaskan nafsu birahi semata.

Terlepas dari perbedaan keduanya, perkawinan siri dan perkawinan kontrak lebih banyak membawa dampak buruk bagi perempuan dan anak. Hal ini disebabkan ketika pernikahan di bawah tangan itu dilakukan kemudian menghasilkan anak. Selain tidak sah secara hukum, anak tersebut nantinya akan kehilangan hubungan hukum terhadap ayah. Sehingga tidak jarang perempuan dan anak kehilangan hak mereka seperti hak nafkah, warisan jika si ayah meninggal, serta istri yang tidak akan mendapatkan harta gono-gini ketika bercerai.

Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A ) Jawa Barat, Netty Prasetiyani Heryawan mengingatkan akan pentingnya sebuah perkawaninan tercatat secara hukum di negara ini, hal tersebut guna menghindari kejadian yang tidak diinginkan bagi kaum perempuan.

"Itu karenanya, mengapa kita harus mengesahkan pernikahan kita di hadapan hukum. Ini salah satunya, semata-mata dilakukan untuk melindungi kaum perempuan," kata dia.

Oleh karena itu, berkaca pada kejadian tersebut pihaknya mengimbau agar para perempuan memutuskan dengan matang-matang jika hendak melangkah ke gerbang perkawinan.

"Saya juga mengimbau kepada perempuan di Jabar agar lebih hati-hati ketika hendak menikah. Selain karena sakral, perempuan juga harus mempertimbangkan organ reproduksi, usia dan calon pasangannya," kata Netty.

sumber : merdeka.com

0 komentar:

Post a Comment